KEMALASARI
SHORT STORY

A fictional story by Deshinta Nilasari.
BAB I. Hit-n-Run
Di senja hari yang gelap beratapkan langit kelabu padat, hujan turun kian deras mengguyur Kota Bandung. Mobil dipacu dengan kecepatan tinggi melawan derasnya hujan di jalan raya menuju Bandara Halim Perdana Kusuma. Sepasang tangan dengan cekatan memutar-mutar setir mobil dengan gesit walau jalanan cukup dipadati kendaraan lain pula. Headline News hari ini, pemirsa, kecelakaan pesawat Shinju Air dengan nomor penerbangan xxxx dari Tokyo menuju Jakarta jatuh di perairan Jawa. Diduga kesalahan teknis oleh kru pesawat yang menyebabkan kecelakaan tragis ini. Berita TV sore itu yang terus memenuhi pikiran Agnan yang kini sedang menempuh perjalanan menjemput kedua orangtuanya di Bandara. Ia tidak memercayai bahwa orangtuanya ada di penerbangan yang sama dengan pesawat yang mengalami kecelakaan tersebut. Tanpa memedulikan apa kata asisten rumah tangganya, Agnan langsung pergi menuju Bandara untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa orangtuanya telah tiba. Namun, kasihan Agnan, ia tidak bisa berpikir jernih karena stress berat. Takdir yang sudah jelas memberi jawaban bahwa orangtuanya menjadi korban kecelakaan pesawat tidak dihiraukan oleh pikirannya yang tak lurus. Agnan terus memacu mobil dengan kecepatan tinggi dan mendahului mobil-mobil lain di depannya setengah ugal-ugalan. Merasa kesal diikuti oleh sebuah mobil di belakangnya, ia menerobos lampu merah yang untungnya sedang sepi kendaraan datang dari arah kiri dan kanan. Benar saja, Agnan sedang diikuti tidak lagi satu mobil, kini dua. Kedua mobil tersebut semakin mendekat seolah ingin menyusul, tetapi melaju tepat di belakang Agnan seperti deretan gerbong kereta. Agnan menarik persneling mobil hingga mencapai kecepatan penuh, diikuti dengan guyuran hujan sore menjelang malam yang memabatasi penglihatannya. Tampaknya, kedua mobil di belakangnya tidak pernah menyerah. Mereka terus mengejar dan semakin mendekat. Dalam radius 200 meter, Agnan melihat sebuah persimpangan dan membanting setir memasuki sebuah gang. Ia menarik rem tangan dengan tangan kirinya dibarengi dengan tangan kanannya memutar setir ke kanan dengan tiba-tiba dan gesit. Kedua mobil di belakangnya tetap melaju lurus dan tampaknya telah berhenti mengikutinya. Agnan mengalihkan pandangannya dari kaca spion dan melihat ke depan. Namun, kini sebuah truk terlihat melaju dengan kecepatan penuh tepat di depannya. Lampu truk tersebut menghalangi pandangan Agnan dan membuat matanya sakit. Tidak terlihat truk tersebut akan berhenti, Agnan membanting setirnya dengan spontan ke kanan dan menabrak sebuah minibar di tepi jalan. Ujung belakang kiri mobilnya ditabrak truk tersebut tanpa mengurangi kecepatannya membuat mobil Agnan terdorong sejauh 10 meter setelah menabrak minibar. Bagian depan mobil Agnan ringsek dan mengeluarkan kepulan asap. Airbag depan bekerja dengan baik, tetapi tidak menyelamatkan Agnan dari benturan keras dan pecahan kaca mobil yang kini memenuhi kursi depan. Dengan rasa sakit yang hebat di kepalanya, Agnan membuka sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Ia terhuyung dan terjatuh tepat setelah melangkah keluar. Ia tergeletak di sebelah mobilnya di bawah hujan deras yang masih mengguyur Bandung sore itu.
BAB II. Tahun Terakhir Keluarga Sonjaya
“Pak Deri, sebaiknya Anda tidak perlu mempersulit pekerjaan bapak untuk investigasi kasus ini. Bukankah bapak harus merawat anak Anda di rumah sakit?”
Atasan Pak Deri di kepolisian ini memang mengatakan hal yang benar. Daripada mengurus tabrak lari yang menyebabkan korban anak di bawah umur, lebih baik mengurus anaknya yang sedang dirawat di rumah sakit saja. Asisten rumah tangga keluarga Sonjaya masih meminta keterangan lebih lanjut terhadap polisi atas terjadinya tabrak lari yang menyebabkan Agnan menjadi korban. Semenjak Pak Deri tidak diizinkan oleh atasannya untuk melanjutkan investigasi, ia tidak pernah memberi informasi lebih lanjut kepada pihak keluarga Sonjaya atas kasus tersebut. Sedangkan di rumah sakit, Agnan masih terbaring tak sadarkan diri. Ia mengalami koma selama 3 hari. Di alam bawah sadarnya, Agnan bertemu dengan kedua orangtuanya. Di sebuah tempat di puncak pegunungan dengan jembatan panjang berujung kabut. Tuan dan Nyonya Sonjaya berdiri di depan jembatan. Agnan melihat ke arah mereka dengan wajah penuh kekecewaan. Sang Ayah berkata, “Maafkan kami telah membuat hidupmu sulit, Nak.” Kemudian, sang Ibupun berkata, “Kami tidak ingin melihatmu menderita. Ikutlah bersama kami agar kamu tidak merasakan kesengsaraan lagi.” Agnan hanya terdiam melihat kedua orangtuanya dengan wajah penuh ketidakpercayaan. Keheningan meliputi mereka bertiga selama sesaat hingga Agnan membuka mulutnya dan berkata, “Kalian yang memutuskan untuk pergi hari itu. Aku sudah mengatakan jangan tinggalkan aku sendirian, tapi kalian sudah membuat keputusan. Kalian yang mengatakan bahwa bisnis itu lebih penting daripada merayakan liburan keluarga. Aku tidak mau hidupku selesai begitu saja. Aku tidak mau kalian merusak hidupku lagi.” Sang Ibu tertegun, “Tapi sayang,” Tuan Sonjaya menarik istrinya itu dan mengatakan kepada Agnan, “Baiklah jika itu maumu. Selesaikan kasus itu dan tegakkan keadilan yang berhak kaudapatkan, Nak.” Mereka berdua membelakangi Agnan dan mulai berjalan melewati jembatan hingga hilang oleh kabut.
Agnan tersadar. Ia membuka matanya perlahan lalu melihat langit-langit dan menunduk melihat tubuhnya terbujur di atas ranjang rumah sakit penuh dengan alat-alat dan perban yang membalut tubuhnya. Agnan mencoba menggerakkan jemari tangan dan kakinya secara perlahan. Diangkat kepala dan tubuhnya pula lalu disandarkan pada dipan ranjang. Kepala dan tubuhnya terasa begitu berat walau tidak ada benda keras yang menopangnya. “Aku tidak patah tulang”, gumam Agnan. “Memang tidak”, seseorang menjawab setelah masuk ke kamar perawatan. “Tapi tubuhmu hampir selemah kakek tua yang baru saja mengalami kecelakaan mobil”, lanjut Hana, seorang asisten rumah tangga keluarga Sonjaya. Ia membuka tiga macam bungkus obat tablet untuk diminumkan kepada Agnan. Diteguknya tiga tablet obat tersebut dengan segelas air putih. “Tiga hari yang lalu seorang polisi datang untuk memberi kabar tentang kasus tabrak lari yang kamu alami. Dia mengatakan akan memberi informasi lebih lanjut keesokan harinya, tapi hingga kini belum ada kabar darinya.” Hana sibuk membereskan barang-barang Agnan ke dalam lemari pakaian dan menyiapkan beberapa obat yang harus diminum secara berkala. Agnan menarik napas panjang sambil menyandarkan kepalanya di bantal yang baru saja ditata oleh Hana. “Aku tidak tahu apakah pelaku akan ditindaklanjuti atas kasus ini mengetahui bahwa kamu hanya anak 16 tahun yang nekat mengendarai mobil.”
Hana memalingkan wajahnya setelah melihat ekspresi Agnan yang biasa-biasa saja. Tiba-tiba Agnan berkata, “Siapapun pelakunya, siapapun korbannya, keadilan harus tetap ditegakkan.”
Seketika Hana terhenti dari kesibukannya dan terlihat seperti memikirkan sesuatu, kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya. “Aku harus mengurus administrasi perawatanmu. Kalau butuh sesuatu, langsung telepon aku saja”, Hana keluar seketika setelah mengucapkan kalimat tersebut. Berhari-hari Agnan terbaring di rumah sakit menjalani perawatan untuk memulihkan kondisi tubuhnya yang lemah tersebut. Liburan akhir tahun yang seharusnya ia habiskan bersama keluarga harus berakhir dengan nahas. Kedua orangtuanya lebih memilih menjalankan bisnisnya di Bulan Desember itu dan berakhir dengan kecelakaan pesawat yang membuat Agnan stress hingga menjadi korban tabrak lari. Sungguh sebuah kabar duka bagi keluarga Sonjaya di akhir tahun 2019.
BAB III. Lost Stars by Adam Levine
Langit biru dipenuhi gumpalan awan putih memenuhi langit Kota Bandung pagi hari itu. Para perawat hilir mudik di tiap lantai rumah sakit. Agnan berjalan mengelilingi taman kecil di halaman samping rumah sakit dengan sebuah kamera digital di genggaman tangan kanannya lengkap dengan perban yang membalut keningnya. Ia memotret segala aktivitas yang terjadi di rumah sakit pagi itu dan sesekali menundukkan kepalanya untuk melihat monitor yang terpampang cahaya matahari. Agnan duduk di sebuah kursi besi panjang di atas rumput hijau beratapkan kanopi kecil. Di ujung taman samar-samar terdengar sebuah nyanyian yang terhalang suara gemersik air mancur. Agnan melihat seorang gadis tengah memainkan sebuah ukulele di pangkuannya. Agnan mencoba sedikit mendekat sambil mencari sudut pandang yang bagus untuk dipotret. Mendengar suara jepretan kamera, gadis itu langsung menyadari kehadiran Agnan. “Hey!”, panggil gadis itu ketika Agnan sedang memeriksa hasil jepretannya. Seketika Agnan menoleh dan segera menyadari bahwa gadis tersebut menangkapnya sedang memotret dirinya. Gadis tersebut melanjutkan, “Tidak sopan mengambil foto orang tanpa seizin orang tersebut.” Agnan langsung mematikan kameranya dan berjalan menuju gadis tersebut. Ia menganggukkan kepalanya sambil mengangkat alisnya seperti ekspresi orang tidak bersalah. "Maaf”, ucap Agnan singkat dan langsung pergi meninggalkan gadis tersebut. Namun, tampaknya gadis tersebut marah dan berdiri seketika sambil memaki-maki Agnan. Tiba-tiba ia terjatuh dan ukulelenya membentur aspal menghasilkan suara keras. Agnan menoleh ke belakang dengan spontan dan mendapati gadis tersebut jatuh tersungkur dengan begitu lemah. Agnan mengangkat kepala dan bahu gadis tersebut dan wajahnya terlihat sangat pucat. Agnan mengalungkan kamera ke lehernya dan mengangkat lengan kanan gadis tersebut ke bahunya dengan ukulele di tangan kanannya. Tidak tampak adanya perawat di ujung taman kala itu. Agnan membawa gadis itu dengan terhuyung-huyung susah payah memasuki ruang perawatan. Para perawat yang melihat langsung membantu membawa gadis tersebut kembali ke kamarnya. Agnan melihat ukulele yang digenggamnya, terdapat nama yang bertuliskan Kemalasari di baliknya dan ia memutuskan mengikuti perawat membawa gadis itu sampai ke kamarnya. Iapun bertanya kepada perawat, “Di mana keluarganya?”. Namun, jawaban perawat tersebut sangat mengejutkan Agnan, “Satu-satunya keluarga yang dia miliki hanya ayahnya saja, tetapi dia harus pergi bekerja. Dia akan berkunjung setiap dua hari sekali.” Agnan tertegun mendengar jawaban tersebut. Ia merasa bersalah terhadap gadis tersebut dan memutuskan untuk tinggal selama beberapa saat sampai menunggu gadis tersebut siuman.
Agnan melihat data pasien milik gadis itu. Dari data tersebut, Agnan bisa melihat bahwa gadis ini merupakan pasien lama yang memang memutuskan tinggal di rumah sakit selama masa pemulihannya. Memangnya sakit apa gadis ini? Agnan membalikkan kertas untuk melihat riwayat penyakit pasien. Namun, niatnya terhenti seketika setelah mendengar gadis itu memanggilnya. “Kau ini benar-benar orang yang tidak memiliki sopan santun sama sekali.” Agnan menoleh dan langsung menghampiri gadis itu. “Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau-“, ucapan Agnan terhenti ketika melihat beberapa helai rambut gadis tersebut rontok di atas bantal. Agnan meraih rambut tersebut secara perlahan dengan wajah penuh keraguan. Gadis itu melihat tangan Agnan meraih rambutnya dan matanya terlihat mulai berkaca-kaca. “Maafkan aku. Aku mohon sekali lagi tolong maafkan aku”, pinta Agnan kepada gadis yang akrab dipanggil Mala tersebut. Mala mengusap kedua air matanya dan mulai tersenyum kembali, lalu berkata, “bermainlah ukulele.” Agnan terkejut, “yang benar saja, aku tidak bisa bermain alat musik.” Mala meraih ukulele di sampingnya dan tertawa kecil kepada Agnan. “Kalau begitu dengarkan aku bermain”, ucap Mala. Jemarinya mulai menyentuh tuts-tuts, memetik, dan bernyanyi sambil menutup matanya perlahan.
Please
don't see just a boy caught up in dreams and fantasies
Please see me reaching out for someone I can't see
Take my hand let's see where we wake up tomorrow
Best laid plans sometimes are just a one night stand
I'd be damned Cupid's demanding back his arrow
So let's get drunk on our tears and
God,
tell us the reason youth is wasted on the young
It's hunting season and the lambs are on the run
Searching for meaning
But are we all lost stars, trying to light up the dark?
Begitu Mala selesai bernyanyi dan membuka matanya kembali, Agnan terlihat baru saja merekamnya dalam kamera. Wajah Agnan pucat pasi ketika Mala melihatnya merekam tanpa izin terlebih dahulu. Malapun tersenyum dan langsung berkata, “Tidak apa-apa, yang barusan gratis.” Agnan mengangkat alisnya sambil tersenyum malu atas tingkahnya barusan. “Suaramu bagus. Kamu juga pandai main alat musik. Kenapa engga ikut kompetisi aja?” tanya Agnan. Mala menarik napas panjang dan melihat langit-langit kamar kemudian berkata, “Tidak mudah, tahu, untuk cari kompetisi yang sesuai dengan bakatku. Lagipula aku tidak bisa pergi ke mana-mana.” Agnan langsung menyanggah, “Kan ada banyak kompetisi online di internet?” Mala menoleh ke Agnan dan melihat ke kameranya, “Aku bukan orang yang akrab dengan teknologi.” Agnanpun menyadari bahwa Mala melihat ke kameranya dan segera mematikannya lalu mengalungkannya di lehernya.
Agnan mengeluarkan ponsel pintarnya dan menunjukkan beberapa kompetisi online melalui akun instagramnya. Ia menjelaskan pelaksanaan teknis lomba kepada Mala yang mana membuat Mala makin tertarik untuk mengikutinya. “Aku akan membantumu untuk rekaman menggunakan kameraku. Untuk mic, aku bisa meminta Hana untuk menyewa di toko kamera langgananku”, usul Agnan. Setelah mereka registrasi dan mendiskusikan kegiatan lomba, akhirnya latihan secara intensifpun dimulai. Mala mulai berlatih bernyanyi dengan giat setiap hari sebelum hari rekaman tiba. Agnan terus memantau kompetisi secara online dan mengurus semua persyaratan di balik layar.
“Agnan”, panggil Mala ketika Agnan sedang sibuk men-set-up kamera untuk rekaman percobaan.
“Iya”, jawabnya singkat.
“Kalau boleh tahu, kamu kecelakaan karena apa?”
Agnan seketika terdiam dan membisu. Lalu ia menjawab sambil tertawa santai, “tabrak lari.”
Mala merasa tidak enak dan segera meminta maaf karena telah bertanya hal yang tidak seharusnya ia tanyakan. Agnanpun menghampiri Mala yang duduk di atas ranjangnya. Tangan kanannya mengusap rambut Mala sambil mengatakan, “tidak apa-apa”, dengan senyum ramahnya.
“Aku sedang mengalami stress berat kala itu setelah mendengar berita meninggalnya kedua orangtuaku karena kecelakaan pesawat-“, belum selesai Agnan bercerita, Mala memotong, “kamu tidak perlu bercerita apabila itu hanya akan membuatmu merasa tidak nyaman.”
Agnan menoleh dengan wajah bingung, “Tidak, aku tidak keberatan untuk menceritakannya kepadamu”. Akhirnya, Agnan menceritakan semua yang dialaminya saat itu dan Mala hanya mendengarkan dan mendengarkan saja.
BAB IV. Pak Deri
Jam menunjukkan pukul 9 malam. Kemalasari masih terjaga dari tidurnya sambil melihat-lihat beberapa cetakan foto yang diberikan oleh Agnan kepadanya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan tergesa-gesa dan seseorang, yang tak lain adalah ayah Mala, masuk lengkap dengan seragam polisi yang masih ia gunakan.
“Ayah? Ayah kenapa ke sini malam-malam?”
Tanpa menjawab pertanyaan Mala, ia meletakkan tas kantornya di meja sebelah ranjang Mala lalu mengelus kepala putrinya itu sambil berkata, “rambutmu.” Iapun langsung melanjutkan, “Kamu tidak boleh terlalu banyak melakukan aktivitas fisik. Kamu harus banyak istirahat dan makan.”
Malapun menghabiskan malam bersama ayahnya. Beliau tertidur di sisi kanan ranjang sambil duduk di kursi. Mala yang masih terjaga mengelus kepala ayahnya yang dengan sabar merawat dirinya selama ini. Kemudian, ia melihat tas ayahnya yang diletakkan di meja sebelah ranjangnya. Tasnya sangat penuh berisi sesuatu yang membuat Mala penasaran. Ia meraih tas tersebut dan membuka resleting tas perlahan-lahan agar tidak membangunkan ayahnya. Terdapat banyak tumpukan map berisi foto-foto yang sepertinya diambil dari tangkapan kamera CCTV. Mala terkejut melihat lokasi, waktu, dan tanggal yang sama dengan cerita Agnan. Ia tidak percaya jika ayahnya adalah polisi yang mengurus investigasi kasus ini. Melihat semua data ini, Mala heran mengapa hingga saat ini kasus tersebut tidak juga terselesaikan. Mala turun dari ranjangnya dan keluar dari kamar dengan membawa dokumen-dokumen tersebut. Ia berjalan dengan tergesa-gesa ke kamar Agnan untuk menunjukkan apa yang ditemukannya dari dalam tas ayahnya.
Di depan pintu kamar Agnan, Mala memanggil-manggil namanya untuk segera masuk karena pintu terkunci. Agnan dan Hana terkejut melihat siapa tamu yang datang menjenguk tengah malam seperti ini. Setelah Hana membuka pintu, Mala langsung berlari menuju Agnan dan segera menunjukkan dokumen yang dibawanya. Agnan dengan eskpresi terkejut melihat Mala berjalan tergesa dari kamarnya ke sini segera menyuruhnya duduk dan mengambilkannya minum. Agnan tidak percaya dengan semua foto-foto yang dilihatnya. Sangat persis dengan kecelakaan yang dialaminya beberapa waktu lalu. Hana heran mengapa tidak ada polisi yang kembali untuk memberi kabar mengenai perkembangan kasus tersebut. Data yang mereka lihat kini jauh lebih lengkap dan detail daripada data yang didapat saat terakhir kalinya polisi datang memberi kabar.
“Apa? Ayahmu?”, Agnan terkejut.
Tiba-tiba, dari luar pintu, seseorang datang dengan tampak lelah setelah berlarian. Ia memanggil Mala dengan nada marah. Hana terlihat mengernyitkan kedua alis dengan wajah terkejut, “Pak Deri?!”
Pertemuan antara keluarga Sonjaya dengan polisi yang bertanggungjawab atas kasus tersebut sangat tidak terduga.
“Bapak ke mana saja? Pihak keluarga sudah menunggu kabar lebih lanjut untuk perkembangan kasus ini. Mengapa bapak tidak pernah datang lagi?”, Hana bertanya dengan kesal.
BAB V. Desember
Semua orang sudah pergi dan kini meninggalkan Agnan seorang. Ia termenung sangat lama dan larut dalam pikirannya sendiri.
Desember, 2019.
Setelah Agnan mengetahui bahwa ayah Mala, Pak Deri, adalah polisi yang bertanggungjawab atas kasus tabrak lari yang dialaminya, beliau mengatakan bahwa ternyata pihak kepolisian telah diberi bayaran uang tunai oleh pelaku agar kasus tersebut tidak ditindaklanjuti. Pak Deripun menyerah karena mengetahui kondisi putrinya yang sedang sakit, beliau memutuskan untuk tidak menuntaskan kasus ini. Namun, Mala bersikeras untuk meyakinkan ayahnya untuk tidak menyerah dan meminta permohonan maaf kepada keluarga Sonjaya. Mala yang malang karena merasa dirinya adalah penyebab tidak terungkapnya kasus yang dialami Agnan.
Kedua orangtua Agnan, Tuan dan Nyonya Sonjaya, adalah suami-istri yang menjalankan bisnis dengan sebuah perusahaan. Mereka menginvestasikan dana perusahaannya ke sebuah perusahaan lokal yang ternyata ditemukan banyak sekali korupsi dan penggelapan uang. Tuan dan Nyonya Sonjayapun memutuskan untuk membatalkan kontrak investasi dengan perusahaan tersebut. Namun, pemilik perusahaan tersebut, Antony Armando atau kerap dipanggil Pak Tony, meminta mereka pergi ke Tokyo untuk melakukan pembatalan kontrak. Hal tersebut bersifat mendesak dan darurat karena apabila tidak segera diselesaikan, mereka akan mengalami kerugian besar menjelang tahun baru. Rupanya, Pak Tony merasa tidak terima dengan pembatalan kontrak ini dan sengaja meminta Tuan dan Nyonya Sonjaya untuk pergi ke Tokyo karena ia membuat rencana pembunuhan terhadap mereka. Seperti yang telah kita dengar dari kecelakaan pesawat Shinju Air, Pak Tony mengirim dua orang yang ia bayar untuk mencelakakan pesawat yang ditumpangi Tuan dan Nyonya Sonjaya. Dua orang tersebut menyerang dan melukai para crew pesawat termasuk pramugari, pilot, dan co-pilotnya. Mereka merusak sistem navigasi pesawat hingga menyebabkan pesawat hilang kendali dan jatuh ke laut. Tidak diketahui di mana keberadaan dua orang tersebut hingga saat ini.
Begitupun dengan tabrak lari yang dialami Agnan, kedua mobil yang mengikutinya dari belakang juga merupakan orang bayaran Pak Tony yang kini telah dikurung di balik jeruji. Namun, truk yang menyambar mobilnya diketahui hanya kendaraan distributor biasa. Sopir truk mengaku tidak melihat adanya mobil yang melaju di depannya karena keterbatasan pandangan di waktu menjelang malam bercampur hujan deras kala itu. Mobil yang dikendarai Agnan saat itu merupakan mobil sedan yang apabila dibandingkan dengan tinggi truk sama dengan empat tumpuk mobil sedannya. Akhirnya, sopir dikenakan denda berupa larangan berkendara dan bekerja selama tiga bulan.
Agnan memikirkan semua kejadian di masa lalunya itu sambil berkata kepada Mala, “Terima kasih sudah membantuku.” Diusapnya batu bertuliskan Kemalasari (Mei 2004 – Januari 2020) tersebut sambil berlinang air mata di pipinya. Setelah pertemuan tidak diduga malam itu, Mala jatuh pingsan. Keesokan harinya, dokter mengatakan bahwa kanker yang diidapnya sudah mencapai tingkat maksimalnya. Mala sudah tidak bisa tertolong.
BAB VI. Istana Negara
“Agnan, cobalah bermain”, Mala menyodorkan ukulelenya kepada temannya itu.
“Kan sudah kubilang aku tidak bisa bermain alat musik.”
Mala meraih tangan kiri Agnan. Agnanpun menoleh ke arahnya dengan tatapan lembut. Mala membalas tatapan itu dengan senyum lembut dan memberikan ukulele di tangan kirinya kepada Agnan. Agnanpun menyerah dan duduk di sebelah Mala di ranjangnya. Mala menunjukkan tuts-tuts yang harus dipetik dan memintanya bernyanyi kalimat demi kalimat.
“Lihat! Tidak sulit, bukan? Siapapun bisa melakukan apa saja kalau mau mencoba”, ujar Mala sambil merangkul bahu temannya itu. Akhirnya, mereka bernyanyi bersama menghabiskan sisa waktu di sore itu.
Keesokan harinya, mereka melakukan shooting dan recording untuk kompetisi menyanyi yang diikuti oleh Mala.
“Kalau aku juara pertama, aku akan mendapat kesempatan bernyanyi di istana Negara?!”, takjub Mala penuh ketidakpercayaan.
“Benar! Ditambah lagi kamu bakal dapet beasiswa sekolah musik di Belanda!”, tambah Agnan yang tidak kalah semangat setelah melihat surprise present dari panitia lomba.
Mala hanya tersenyum dan diam, kemudian berkata, “Apapun hasilnya, aku ingin sekali melihat kamu tampil di panggung.”
“Kok aku? Seharusnyakan-“, Mala memotong ucapan Agnan dengan menutup mulutnya menggunakan telunjuk tangan kanannya.
Agnan terkesiap dan meraih tangan kanan Mala, lalu menurunkannya perlahan. Agnan meraih tangan kiri Mala dengan tangan kanannya dan menggenggamnya erat. Ia menarik napas panjang lalu menunduk, sesaat kemudian ia menatap wajah Mala dan berkata, “Ayo kita sama-sama sembuh dan pergi menampilkan musik bersama.”
Ingatan masa lalu yang tiba-tiba terlintas di pikiran Agnan seketika membuatnya sangat emosional. Ia melamun cukup lama memikirkan masa lalunya itu, hingga sebuah panggilan dari MC panggung memanggilnya sebagai perwakilan dari peserta juara pertama kompetisi menyanyi tingkat nasional, Kemalasari. Agnan naik ke panggung dengan membawa ukulele di salah satu tangannya. Ia melihat riuh rendah sorakan para penonton yang siap menyaksikan penampilannya itu. Ia memandangi sekitarnya, di panggung ada beberapa alat musik lengkap dengan microphone-nya. Di hadapannya, duduk seorang Presiden Indonesia dengan beberapa pejabat lain di sisi kiri dan kanannya, serta terlihat Pak Deri duduk di bangku penonton menyaksikannya dengan air mata penuh haru. Agnan meraih sebuah microphone di depannya kemudian berkata, “Saya persembahkan penampilan ini untuk teman terhebat dan terkuat yang pernah saya temui, Kemalasari, semoga kamu tenang di atas sana.” Penonton menunjukkan respon sedihnya dengan suara riuh rendah yang diselimuti perasaan duka. Agnan tersenyum dan menarik napas panjang, kemudian mulai bernyanyi.
Please
don't see just a boy caught up in dreams and fantasies
Please see me reaching out for someone I can't see
Take my hand let's see where we wake up tomorrow
Best laid plans sometimes are just a one night stand
I'd be damned Cupid's demanding back his arrow
So let's get drunk on our tears and
God,
tell us the reason youth is wasted on the young
It's hunting season and the lambs are on the run
Searching for meaning
But are we all lost stars, trying to light up the dark?
Who
are we? Just a speck of dust within the galaxy?
Woe is me, if we're not careful turns into reality
Don't you dare let our best memories bring you sorrow
Yesterday I saw a lion kiss a deer
Turn the page maybe we'll find a brand new ending
Where we're dancing in our tears and
God,
tell us the reason youth is wasted on the young
It's hunting season and the lambs are on the run
Searching for meaning
But are we all lost stars, trying to light up the dark?
I
thought I saw you out there crying
I thought I heard you call my name
I thought I heard you out there crying
Just the same
God,
give us the reason youth is wasted on the young
It's hunting season and this lamb is on the run
Searching for meaning
But are we all lost stars, trying to light up the dark?
I
thought I saw you out there crying
I thought I heard you call my name
I thought I heard you out there crying
But
are we all lost stars, trying to light up the dark?
But are we all lost stars, trying to light up the dark?
TAMAT.
Comments
Post a Comment