RETALIATION

SHORT STORY  

A fictional short story written by Deshinta Nilasari in 2020. A story about a teenager with an anxiety disorder caused by past experience trauma. Inspired by a K-Drama titled 'Extracurricular' released on April 2020 starring Kim Dong Hee as the main character that inspired the writer to created the main character on the story.

Di ruang serbaguna berukuran besar dengan siling yang tinggi, barisan kursi ditata rapi bak studio teater yang diisi penuh oleh berbagai kompetitor olimpiade sains tahun 2012. Radit bersama ayah dan ibunya sedang duduk di salah satu barisan di tengah-tengah tempat duduk peserta lainnya. Semangatnya terlihat dari kedua bola matanya yang berseri-seri dan senyum lebar yang terukir di wajah kedua orangtuanya. Ini adalah kali ketiga bagi Radit mengikuti kompetisi olimpiade nasional. Namanya selalu mencetak sejarah sebagai pemenang termuda olimpiade sains nasional yang mengisi peringkat tiga besar sejak debut kompetisinya. Kini, ia kembali mencetak sejarah sebagai juara pertama olimpiade sains tingkat nasional di usianya yang baru menginjak sepuluh tahun.

Di seluruh sudut dan dinding rumah terukir nama Raditya Mubarak dalam bingkai sertifikat dan gantungan medali yang menyertainya. Sebuah etalase tinggi diletakkan khusus untuk menyimpan koleksi piala emas atas kemenangan dari berbagai kompetisi yang diikutinya baik di bidang akademis maupun non-akademis. Orangtuanya bahkan menjulukinya ‘Si Harta Karun Kecil’ karena semakin banyak lomba semakin banyak kemenangan yang didapatkan. Apalah arti sebuah julukan di pikiran sepuluh tahun seorang Radit.

Pada suatu sore yang gelap disertai hujan deras dan angin kencang, Radit menunggu kepulangan ayahnya dari kantor di ruang tamu. Merupakan hari yang istimewa baginya karena di hari jadinya ini dia akan menerima rapot semester yang keempat kali dan memeriksa apakah namanya tetap terukir di urutan pertama dalam tabel ranking. Di dalam rumah, ibunya sibuk mondar-mandir mencari sesuatu di setiap laci dan rak serta semua sudut yang  memungkinkan untuk digeledah. Pintu depan terbuka dengan keras membuat Radit terkejut sekaligus senang karena ayahnya telah tiba. Ia menerima buku penilaian tersebut dengan semangat dan duduk manis menganalisa semua angka yang terukir di halaman tersebut. Di dalam rumah, kedua orangtuanya berdebat akan sesuatu yang tidak ia mengerti. Ketidakpahaman Radit akan situasi membuat semangatnya semakin berkobar ketika menemukan beberapa nilai sempurna dan namanya di urutan pertama dari 30 siswa. Ia berlari menuju ayahnya dan mengatakan bahwa ia berhasil dengan baik. Namun, sang ayah tampak linglung dan langsung menamparnya. Sang ibu lantas berteriak dan memaki-maki ayahnya dengan kasar karena bertindak begitu ceroboh. Apa yang dirasakan Radit saat itu tentu membuatnya trauma. Sang ayah yang merupakan pekerja alat berat di sebuah perusahaan asing sering mendapat perlakuan kasar dari bosnya hingga dirumahkan karena kesalahpahaman. Di hari yang bersamaan dengan penerimaan rapot kenaikan kelas anaknya, sang ayah mengalami stress berat dan menghabiskan semua tabungan di rumah untuk minum.

Setelah memutuskan bercerai, sang ayah meninggalkan rumah tanpa berpamitan pada Radit. Sang ibu yang dahulu selalu mendampingi Radit belajar, kini beliau sering mengurung diri di kamar bahkan tidak bisa mengurus dirinya sendiri apalagi urusan rumah tangga. Keadaan itu berlangsung selama hampir dua tahun hingga ibunya menikah lagi dengan seorang pria kaya yaitu Eric Farabi yang merupakan direktur di sebuah perusahaan Bank Ventura. Mereka akhirnya pindah ke rumah mewah Pak Eric. Namun, dia tidak mengizinkan mereka membawa barang apapun karena telah disediakan semua barang keperluan yang baru. Radit membantah karena tidak bisa meninggalkan semua piagam, piala, dan medali yang dimilikinya begitu saja. Sang ibu rupanya tidak berada di pihaknya dan menyetujui perintah pria itu. Diam-diam Radit menyelipkan piagam-piagamnya di kantung baju dan celananya agar tidak ketahuan dan menyimpannya di bawah ranjang kamar barunya.

Perbedaan yang sangat besar dirasakan Radit sejak pindah. Semua fasilitas baru yang didapatnya tidak memberikan kepuasan apapun. Justru, kenangan hangat yang dulu terlukis dalam keluarga sederhananya mengalahkan mewahnya gaya hidup saat ini. Pergi ke sekolah yang dahulu diantar oleh sang ayah dengan mengendarai sepeda motor bekasnya, kini tergantikan oleh sebuah mobil SUV dan seorang sopir pribadi. Radit tumbuh menjadi remaja pendiam yang sangat dingin hingga mendapat julukan ‘Es Batu’ oleh teman-teman SMA-nya. Pak Eric mendaftarkannya di sebuah SMA unggulan di kota itu dengan harapan ia harus sukses agar mampu mengganti lebih banyak uang biaya sekolah yang ia keluarkan untuknya. Walau hidupnya serba mudah dan mewah, Radit tetap saja tidak pernah mendapat kasih sayang dari sang ibu apalagi ayah tirinya. Ia berpikir bahwa orangtuanya telah membuangnya. Bahkan, tidak pernah lagi terdengar kabar dari sang ayah sejak perceraian 6 tahun yang lalu.

Suatu malam di meja makan, mereka bertiga menghabiskan makan malam bersama dengan makanan yang dihidangkan oleh palayan-pelayan di rumah. Tidak ada obrolan apapun yang terjadi hingga Pak Eric membuka pembicaraan.

“Kudengar dari walikelasmu bahwa nilaimu sangat buruk belakangan ini. Bahkan, mereka mengatakan bahwa kau tidak mengerjakan tugas beberapa kali. Apa maumu?”

Radit tidak menjawab dan tetap diam seolah tidak mendengarnya berbicara.

Pak Eric mendengus kesal dan bertanya sekali lagi. “Dengar, ya. Aku tidak akan mendaftarkanmu di sekolah itu jika aku tidak melihat peluang yang besar darimu. Jika kau tidak berhasil dan hanya membuang semua uangku dengan cuma-cuma, kau tidak akan kusekolahkan atau bahkan akan kuusir kau dari rumah!”.

“‘Si Harta Karun Kecil’ku adalah anak yang baik dan jenius. Dia selalu belajar dan mendapat juara. Dia selalu bahagia karena tidak pernah gagal”, sang ibu akhirnya berbicara dengan tatapan kosong sembari melihat piringnya.

Radit tidak kuasa lagi. Ia berdiri dan membanting alat makan di mejanya seraya berteriak, “Aku bukan harta karunmu dan aku tidak pernah memintamu menyekolahkanku di sekolah itu. Jika perlu usir saja aku dari sini!”, Radit mengucapkannya sembari menatap dua orang di hadapannya itu.

Pipinya ditampar keras oleh ayah tirinya. Sang ibu menutup kedua telinga sambil membisu ketakutan. Suara tamparan itu begitu keras hingga membuatnya teringat akan pertama kali ia ditampar oleh ayahnya ketika kecil. Namun, ia sadar bahwa kali ini tamparan itu memang disengaja dan bukan dari efek mabuk oleh si pelaku. Sejak malam itu, Radit sering mengurung diri di kamar dan melewatkan jam makan malam. Trauma yang diidapnya sejak kecil membuat kondisinya semakin memburuk. Ia sering mengalami serangan panik yang ditandai dengan ciri ingatan pahit di masa lalu yang terasa begitu nyata di dalam pikirannya. Tubuhnya gemetar hebat dan rasa takut akan hal-hal kecil seperti suara notifikasi ponsel membuatnya sangat stress. Itu adalah awal mula dari sebuah kisah seorang remaja yang terdiagnosa mengidap gangguan kecemasan akibat trauma berulang yang dialaminya sejak kecil.

September 2019.

Pada jam istirahat makan siang, ketua kelas kembali masuk ke kelas untuk memberi beberapa pengumuman.

“Adina datang!” “Din, ada pengumuman apanih?” “Adina! Adina!”. Semarak siswa di kelas terdengar begitu penasaran akan pengumuman yang akan disampaikan siang itu.

“Oke, sabar. Tadi kepala sekolah memberitahu bahwa akan ada kegiatan konseling sepulang sekolah sampai jam 4 sore. Sejak peristiwa bolos massal beberapa minggu lalu oleh siswa yang tidak bertanggungjawab itu, kita semua harus berada di sekolah lebih lama supaya hanya punya sedikit peluang waktu untuk ke warnet.”

Murid-murid lain di kelas tampak sibuk membicarakan soal bolos massal yang sempat terjadi kala itu. “Katanya mereka main judi, loh!” “Itukan hanya video game, apanya yang judi?” “Mereka taruhan untuk dapat uang!” “Katanya mereka sampai dapat uang 5 juta karena main itu”.

Kemudian ketua kelas melanjutkan bicaranya. “Informasi tambahan! Raditya, kamu dipanggil oleh guru BK dan diminta untuk ke sana sekarang.”

Radit menutup tepak makannya dan segera meninggalkan kelas. Ketua kelas kembali ke bangkunya sambil melihat Radit keluar. Siswa lain tampak membicarakannya karena terdengar samar-samar seseorang menyebut ‘Es Batu’. Radit berjalan dengan tenang tanpa memedulikan sekitarnya seolah dipanggil ke ruang BK sudah menjadi agenda rutinnya. Meskipun memang itu kenyataannya.

Di depan pintu ruang BK, Radit berhenti ketika mendengar seorang siswa berteriak dari dalam.

“Saya tidak melakukannya, Pak! Itu adalah berita bohong. Jangan dengarkan ucapan siswa-siswa bodoh itu. Mereka bahkan tidak punya buktinya.”

Raditpun memutuskan untuk masuk ketika guru BK itu mengatakan, “Karena kamu sudah berbuat onar dengan mogok sekolah itu, kami tetap akan memberimu hukuman. Oh, Radit! Kemarilah! Duduklah di sini!”

Radit mengangguk dan duduk di kursi sebelah siswa pembuat onar itu. “Sebentar, ya. Bapak akan segera kembali. Frans, tetap di sini sampai Bapak kembali!”

“Cih!”, pembuat onar itu duduk setelah melihat Pak Rahman keluar ruangan. Ia menoleh kepada Radit dan menatapnya sembari tertawa. “Apa masalahmu bisa sampai di sini? Apa kau merokok? Vandalisme? Tawuran? Oh, tidak-tidak! Anak polos sepertimu tidak mungkin berbuat seperti itu. Hahaha!”. Frans berhenti setelah tertawa cukup keras dan kembali menatap Radit dengan heran. Ia merangkulkan bahu Radit seraya berkata, “Kurasa kau kurang piknik.” Frans tertawa singkat sembari menepuk bahu Radit lalu meraih sebuah kertas di meja lalu menunjukkannya pada Radit. “Ini! Lihatlah ini! Kau bisa bersenang-senang dengan ini, tapi jangan sampai ketahuan oleh siapapun seperti aku yang bodoh ini. Ini simpanlah!”.

Pak Rahman kembali memasuki ruangan dengan membawa buku penilaian. Radit segera menyembunyikan brosur yang diberikan oleh Frans di balik rompinya.

“Ah! Sudah kuduga kau pasti ke sini karena masalah nilai.”

“Ini surat pemberitahuan untuk orangtuamu dan pastikan kau menyampaikan kepada mereka untuk datang ke sekolah besok. Ingat itu! Sudah cepat kembali ke kelas!”, perintah Pak Rahman kepada Frans.

Ia menerima surat itu sembari tersenyum lebar dan mengatakan, “Oh, tentu saja akan kulakukan! Bukan begitu, bro!”, ia menepuk bahu Radit dan pergi meninggalkan ruang BK.

“Dengar, Radit! Perkembangan nilaimu semakin menurun sejak semester pertama. Jika tidak ada peningkatan, akan sulit bagimu untuk diterima SNMPTN. Kamu mengerti itu, bukan?”

Radit hanya mengangguk sembari menatap buku penilaian yang ditunjukkan kepadanya.

“Bapak akan menyediakan kelas tambahan khusus untukmu jika membutuhkan bimbingan belajar. Ambil ini! Ini adalah brosur bimbel bapak dan kamu boleh datang kapan saja tanpa perlu membayar. Bagaimana, kamu setuju?”

Radit mengangguk dan menjawab, “Terima kasih, Pak.”

“Baiklah, kamu boleh kembali ke kelas sekarang.”

Sebelum keluar ruangan, Radit bertanya, “Pak, bolehkah saya minta fotocopy lembar pengumuman hari ini?”

Bel pulang sekolah berdering. Hari ini merupakan hari pertama bimbingan konseling di luar jam pelajaran bagi siswa kelas 11. Setelah keluar dari toilet, Radit teringat akan brosur yang diberikan Frans siang ini yang ia sembunyikan di balik rompinya. Ia melihat akan ada pertandingan video game sore ini di warnet melawan Si Botak Bertato, juara tanding tak terkalahkan. Tertulis di brosur itu bahwa ia berhasil memenangkan uang hingga 30 juta rupiah dari pertandingan tersebut. Penasaran dengan pertandingan itu, Radit berniat menyelinap keluar sekolah dan bolos bimbingan konseling untuk pergi ke warnet tersebut. Ia beralasan kepada sopirnya untuk tidak menjeputnya karena kelas tambahan bimbingan konseling dan akan menghubunginya lagi jika sudah selesai. Ia juga mengirim gambar fotocopy lembar pengumuman resmi kegiatan sekolah tersebut.

Ketika semua murid kelas 11 berjalan menuju ruang serbaguna untuk kelas tambahan, Radit diam-diam menyelinap pergi keluar mengikuti siswa-siswa lain yang hendak pulang. Ia berlari menuju gang kecil alamat warnet itu berada. Di sana ia menemukan bar di dalam warnet tersebut dan sekumpulan orang berkostum preman bersorak-sorai. Di tengah-tengah mereka, Radit melihat Si Botak Bertato itu berada. Semua orang berteriak dan saling mengeluarkan kata kotor. Radit sibuk melihat pertandingan itu dan mencoba memahami bagaimana game itu bekerja. Kemampuannya yang baik dan cepat paham dalam menganalisa sesuatu yang menarik perhatiannya membuat otaknya mulai bekerja normal kembali. Hingga pada babak akhir,  Si Botak Bertato berhasil memenangkan uang sebesar 5 juta hari itu.

“Akulah sang pemenang tak terkalahkan! Akulah Grigori! Akulah Si Botak Bertato! Hahahaha!”

Grigori! Grigori! Grigori!

Semua orang bersorak menyebut nama asli Si Botak Bertato itu. Radit yang telah memahami jalan permainan video game itupun akhirnya memutuskan untuk taruhan melawan juara bertahan itu dengan segenggam uang 1,5 juta yang diletakkannya di hadapan Si Botak Bertato.

“Aku menantangmu bermain dengan uang ini”, Radit mengejutkan sang juara bertahan dan semua orang di warnet tersebut.

Semua orang membicarakannya bisik-bisik dan terdengar bahwa mereka meremehkannya. Grigori, Si Botak Bertato itupun angkat bicara, “Wah, wah! Apa ini? Seorang murid dari SMA mogok massal? Uangmu cukup banyak. Kau pasti dari keluarga kaya. Baiklah jika kau ingin aku bersenang-senang. Aku akan melayanimu hanya dengan satu pukulan”, Grigori mengeluarkan seluruh keuntungannya hari itu untuk taruhan.

“Coba saja”, ujar Radit dingin.

Woah… Semua orang bersorak, mendukung sang juara bertahan, dan mengumpat-umpat penantang baru.

Permainan dimulai. Semua tampak begitu senang dan sombong karena anak SMA itu pasti akan kalah. Di babak pertama, penantang baru berhasil mengejutkan sang juara bertahan akan kemampuannya yang di luar dugaan itu. Semua orang semakin memanas dan bersemangat. Dua, tiga, hingga akhir babakpun terlewati. Total keseluruhan score yang didapat si penantang berhasil melampaui sang juara bertahan. Sang juara bertahan berteriak, mengumpat, dan membanting PC di hadapannya. Radit berdiri untuk mengambil uang sebesar 6,5 juta yang ia menangkan melalui kompetisi tersebut. Ia berjalan keluar warnet dengan santai hingga dua orang bertubuh besar menghadangnya di depan pintu. Radit mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan mendapati semua orang melihatnya dengan sinis. Tepat di tengah ruangan, Si Botak Bertato berdiri dengan wajah emosi. Pria besar itu berjalan mendekati Radit diikuti oleh preman lainnya.

“Siapa kau?”, tanya Grigori dengan nada menantang.

“Jika kau menginginkan uangmu, kembalilah besok. Akan kuberi kau bunga setengah keuntungan hari ini jika kau berhasil”, Radit langsung keluar meninggalkan warnet dan terlihat hari hampir gelap.

Di sekolah, terlihat beberapa siswa yang baru saja pulang selepas kegiatan tambahan. Adina yang baru pulang setelah ekstra basket dihampiri oleh seorang pria tinggi berseragam hitam yang bertanya, “Apa kau tahu Radit?”

“Radit? Raditya?”

“Benar. Apakah dia sudah pulang? Katanya ada kelas tambahan sepulang sekolah, tapi dia belum memberi kabar sama sekali sampai sekarang.”

“Oh, ya. Itu benar, tapi kelas itu sudah berakhir sejak pukul empat.”

“Begitu, ya. Baiklah, terima kasih.”

Adina pergi meninggalkan sopir Radit dan pulang dengan berjalan kaki. Di persimpangan, ia melihat seorang siswa berlari menuju gerbang sekolah. Adina berhenti untuk memastikan siapa orang tersebut. Rupanya Radit baru saja kembali dari suatu tempat. Namun, Adina melihat Radit kebingungan ketika melihat sopirnya sudah menunggu. Sikap Radit tersebut membuat Adina curiga dan membuatnya memata-matai tindakan Radit. Adina mendapati Radit melompati pagar samping sekolah dengan memanjat pohon di depannya. Kemudian, Adina mendekat menuju gerbang sekolah dan melihat Radit keluar dari gerbang depan menemui sopirnya. Adinapun menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan si ‘Es Batu’.

Sesampainya di rumah, Radit disambut oleh amarah sang ayah tiri yang langsung menamparnya begitu ia masuk. Radit terkejut dan jatuh seketika.

“Dari mana saja kau? Pulang malam-malam tidak beri kabar! Anak macam apa kau ini? Dasar anak seorang pemabuk!”

“DIAAAM! Berhenti menyebutnya pemabuk!”, Radit berdiri dan berteriak tepat di depan wajah ayah tirinya.

“Hei! Kalau ditanya itu jawab bukannya bantah!”

Seorang sopir masuk tanpa diminta dan menjelaskan kepada tuan rumah bahwa Radit memiliki kelas tambahan di sekolah sembari menunjukkan pengumuman resmi dari sekolah. Tuan rumahpun merasa lelah dan segera menyuruhnya untuk kembali. Di lantai, Radit berlutut hampir tersungkur karena histeris dan merasa panik berat. Sedangkan, ayah tirinya meninggalkannya sendirian.

Pembelajaran di kelas keesokan harinya.

Radit terlambat masuk 30 menit ketika pembelajaran PPKn sedang berlangsung di jam pertama. Ia memasuki kelas dengan langkah kaki yang lambat dan wajah lesu. Guru mata pelajaran yang merupakan wali kelasnya tidak ia hiraukan ketika memberinya salam dan pertanyaan atas keterlambatannya. Sepanjang pembelajaran berlangsung hari itu, Radit terlihat begitu berantakan. Tatapannya kosong seolah tubuhnya tidak memiliki jiwa. Adina yang saat itu sedang menarik tugas resume para siswa hasil kelas bimbingan konseling mencoba berbicara kepada Radit dengan menghampiri mejanya.

“Radit, tugas resumemu sudah selesai?”

Adina merendahkan punggungnya dan memanggilnya lagi, “Radit? Kamu tidak apa-apa?”.

Kemudian, dari ujung kelas terdengar sebuah seruan, “Sudahlah, Din. Percuma jika kamu berbicara dengan es batu.”

Sementara itu, Radit tetap terlihat sama tanpa ada reaksi sedikitpun. Di ruang BK, Pak Rahman dan Bu Nia, walikelasnya, mencoba untuk mengajak Radit berbicara. Namun, ia tetap diam, bahkan tidak menatap dua orang guru di depannya sama sekali.

“Radit, jika kamu hanya diam dan tidak menceritakan apa yang terjadi, maka, kami tidak bisa membantu”, ujar Bu Nia.

“Dengar, nak. Apapun masalah yang sedang terjadi pada dirimu, cobalah bersikap terbuka untuk menceritakannya kepada orang lain karena itu akan membuatmu merasa lebih baik daripada kamu simpan sendiri. Jika kesulitan dalam menemukan solusi atas permasalahanmu, cobalah untuk menghubungi orang dewasa untuk meminta bantuan. Bisa orangtuamu, bahkan guru-gurumu, atau orang yang kamu percaya bisa, siapapun itu”, jelas Pak Rahman.

Adina termenung memikirkan apa yang sedang terjadi pada Radit setelah mendengar perbincangan mereka dari balik pintu.

Sepulang sekolah, Radit langsung berlari menuju warnet untuk bertanding dengan Grigori. Di belakangnya, Adiana menguntit. Ia terkejut ketika melihat Radit pergi ke gang terlarang yang dihuni oleh preman yang memenuhi bar di dalam warnet. Merasa khawatir dan takut, Adina mencoba untuk memberanikan diri agar tidak terlihat oleh orang lain.

Ucapan Pak Rahman terus memenuhi pikiran Radit. Benar, ia harus meminta bantuan pada orang dewasa untuk menyelesaikan masalahnya. Nalurinya semakin kuat ketika memasuki gang terlarang. Di dalam bar, ia mengobrol bersama Si Botak Bertato. Adina masuk dan mengambil tempat duduk membelakangi perbincangan dua orang tersebut.

“Seorang direktur kaya memang tidak punya cinta untuk keluarga. Semua hal baik yang dilakukannya semata-mata hanya untuk uang”, ujar Grigori.

“Aku sangat ingin membuatnya hilang dari hadapanku. Maka dari itu, aku ingin kau kembali pada pekerjaan lamamu dan bekerjalah untukku. Akan kuberi kau bayaran 10 kali lipat dari taruhan hari ini. Menangkan pertandingan kali ini dan anggap uang itu sebagai DP-nya. Bagaimana?”

Obrolan itu berakhir dengan berjabatnya dua tangan.

Desember 2019.

Hari ulang tahun Radit ke-17. Bertepatan pada hari ini pula rapot semester 3 dibagikan. Hari liburnya ia habiskan untuk bermain video game di kamarnya. Hidupnya yang selalu kesepian membuat hari ulang tahun tanpa ucapan baginya itu sudah biasa. Ucapan selamat terakhir diberikan oleh ibunya tujuh tahun yang lalu. Kondisinya semakin memburuk karena gangguan mental yang diidap ibunya. Dari luar, ayah tirinya memasuki kamar Radit dan langsung memukul kepalanya dari belakang menggunakan buku rapot yang dibawanya. Tanpa menunggu apapun, ayah tiri Radit menarik headphone yang ia pakai dan langsung menarik kerah bajunya agar keluar dari kursi.

“Kau lihat apa ini? Kau benar-benar ingin dikeluarkan dari rumah, ya? Hei, jawab!”

Radit terlihat kesal, tetapi tetap diam. Ayah tirinya langsung menampar pipinya dengan keras. Tangis Radit langsung pecah dan ia meronta-ronta ketakutan. Semua kenangan buruk tujuh tahun yang lalu kini terulang kembali. Tamparan keras itu, nilai rapot, dan hari ulang tahunnya seolah menjadi sebuah kutukan dalam hidupnya. Ayah tirinya meninggalkan kamarnya dengan kesal. Radit mengamuk dan membanting PC di atas mejanya ke lantai. Ia menarik kumpulan piagam yang disimpannya di bawah ranjang dan menyobeknya dengan kasar. Ia terus membenturkan kepalanya ke dinding dan melukai dirinya sendiri. Radit meraih ponselnya dan mengirim pesan teks kepada seseorang.

Radit :  Besok pukul 5 sore

              Lokasi Bank Ventura.

Grigori : Diterima.



Comments

Popular Posts