Cerita pendek karya Deshinta Nilasari
Gesekan
besi tajam mengkerit satu sama lain menggema di sepanjang koridor dan aula
utama yang tinggi. Bebatuan tua yang tersusun tinggi tampak coklat keabuan dengan
lumut dan beberapa tanaman liar menjalar di sulur-sulur dinding. Pilar sebesar
pohon beringin yang rapuh akibat benturan keras menyisakan bata dan semen
kering berdebu di permukaan lantai marmer yang menyedihkan. Asap dan debu keluar dari jendela persegi tak berkaca yang berjajar di tiap
sisi bangunan. Gema tapak sepasang bot yang semakin keras terdengar begitu
tergesa di sepanjang lantai beralas puing batu. Berisik, tetapi lincah. Ramai,
meski seorang.
Bot
coklat lusuh berkulit tebal setengah lutut ditali sangat ketat dengan tali
tipis yang melilit berantakan. Solnya seputih gading sekuat baja. Di dalamnya,
sejulur kain perca krem membalut sepasang kaki kecil yang tidak dapat disebut
atletis karena terlalu kurus untuk ukuran tubuh tinggi itu. Setelan atasnya
tampak seperti kostum dansa yang tidak cocok dalam balutan rompi coklat muda
yang menopang tubuh kecil di balik kain satin putih lusuh. Di perutnya, sebuah
kain abu-abu berlipat membalut pinggang bagai sabuk yang menyilang dada hingga
punggung. Sepasang tangan putih kecil yang sibuk menautkan ikatan sabuk hitam
menyelempang dan mengitari perut di sisi luar kain abu-abu berlipat. Di
belakangnya, tas berbentuk tabung dari kulit menyimpan lusinan tongkat berbulu yang
siap ditarik kapan saja. Rambut hitam berantakan yang diikat kebelakang, poni
sepanjang dagu yang menjuntai kasar, sepasang mata awas pancarkan pupil yang
mengecil di hadapan senja yang semakin menyingsing tepat di wajahnya.
Langkahnya
terbirit, napasnya tersengal, tak seorang pun melihat seorang gadis muda berlari
meninggalkan kastil dengan pakaian prajurit asal-asalan. Lebih cocok disebut
pemeran teater amatir daripada prajurit sebenarnya.
Sang
surya semakin hilang di ufuk barat memantulkan cahaya yang begitu merah hingga
wajah putih si gadis terlihat begitu oranye. Entah apa yang telah dialaminya,
tetapi sepasang kaki kurus panjang yang menolak melambat semakin terseok-seok
usai memanjat pagar setinggi tiga meter yang berbatasan langsung dengan padang
rumput belantara. Walau tidak terkilir, tubuh yang hampir terjatuh itu tidak
pernah sekalipun menoleh balik menghadap kastil yang ditinggalkannya. Bagai
memercayai mitos bukit cinta, sepertinya si gadis menolak percaya dan menoleh
ketika sebuah teriakan yang lebih cocok disebut jeritan itu memekik dari salah satu
jendela besar tak berkaca.
Fiolla, carpe diem! Fiolla! Fiolla!
Sambil
tetap bersikeras berlari, tampak jelas wajah itu sedang ketakutan, tetapi kakinya
begitu licik atas kebohongan terhadap ketakutannya sendiri. Berlari tanpa
menghiraukan jiwa yang hampir mati di perbatasan waktu malam. Satu dua bukit
beralang tinggi telah berlalu. Dua puluh langkah lagi Fiolla akan menggapai
tunggangannya. Seekor kuda betina besar berwarna coklat dengan garis putih di
depan wajahnya terikat di sebuah pagar batang kayu setinggi satu meter.
Diraihnya sebuah jubah coklat gelap yang nyaris tampak hitam di bawah langit
malam itu menyelimuti punggungnya. Ditunggangginya kuda itu dan berlarilah
mereka mengejar mentari yang telah bersembunyi. Jauh, jauh, seolah ingin keluar
dari gelapnya gulita.
**
Sebuah
suara serak tua memanggil.
“Oi,
Louie! Selesaikan jerami itu dan bawa gerobak bobrokmu keluar dari ladangku
segera!”
Sebuah
kepala kecil muncul dari balik semak. Dengan tangan berbalut sarung, diangkatnya
sebuah topi yang menutupi rambut bergelombang hitam itu. Wajahnya tampak riang,
matanya menyipit, dan alisnya terangkat. Jangan lupakan pula senyum lebar dan gigi putih yang tampak rapi dibalik
bibir cerah merah mudanya. Begitu mengangkat tumpukan jerami terakhir ke
gerobak tua yang penuh itu, tangannya dengan sigap melepas sepasang sarung
tangan kebesaran yang kotor dan segera menyeka pergelangannya dengan sebuah
kain yang diselipkan pada salah satu sisi gerobak.
Terdengar
suara gerutu kuda. Mata hitamnya menyipit mengamati segala penjuru ladang. Ia
meraih topinya dan memakainya kembali sebelum akhirnya memasuki ladang lebih
jauh untuk menemukan sumber suara tadi. Semak belukar, ilalang tinggi, dan pohon-pohon
besar menutupi bayangannya yang sedang tekun mencari. Mencari keberadaan
sesuatu yang dikiranya,
seekor
kuda.
Dan
sungguh memang ada seekor kuda di sana. Di ladang itu. Wajah sumringahnya tak
dapat disembunyikan. Ia berjalan mendekati kuda besar coklat itu secara perlahan
sambil merentangkan salah satu tangannya yang mengisyaratkan untuk tetap tenang.
Kedua matanya berhadapan dengan hitamnya bola mata kuda itu dan mengelusnya
dengan penuh kebanggaan. Namun, kuda yang membawa beban ini tidak mungkin
datang seorang diri tanpa penunggangnya. Terlihat jelas bahwa tidak tampak
seorangpun di ladang itu kecuali dirinya sendiri bersama si kuda. Louie
melangkah mundur satu langkah. Matanya tetap mencari, tangannya masih mengelus
kepala si kuda, tetapi kakinya seolah bersiap menghadapi apapun yang akan
terjadi. Merasa dirinya diawasi, kepalanya hanya dapat menoleh ke kanan, kiri,
depan, dan belakang, sambil sesekali tangannya bergantian mengelus kepala si
kuda di hadapannya.
Tepat
pada arah pukul tujuh, berisik oleh suatu pergerakan menyita seluruh indranya.
Ia berjalan memutari pohon untuk mendatangi sumber suara, meninggalkan kuda di
belakangnya. Namun, tak tampak suatu makhluk apapun di tempat itu. Kepalanya
cepat menoleh ketika kuda tersebut meringkik keras. Menyadari seseorang kabur
dengan tunggangannya yang tak lain kuda tadi, Louie memutari pohon dari arah
berlawanan. Belum sempat berlari cepat, si penunggang segera menarik kembali
tali tunggangannya ketika melihat seorang bocah laki-laki yang tak lain adalah
Louie, tiba-tiba menghadang kudanya. Ia terjatuh ke belakang, terguling dengan
tangan kiri menumpu sisa beban tubuhnya. Tentu saja tangannya terkilir, tidak
sampai patah, tetapi terluka parah karena gesekan bebatuan, tanah, dan tas
punggung yang menimpanya.
“Oh,
tidak. Maafkan aku. Apa kau baik-baik saja?”
“Pergilah.
Tinggalkan kami sendiri.”
Si
penunggang berusaha bangkit untuk menunggangi kudanya kembali, tetapi tidak
sanggup melakukannya.
Sial. Batinnya.
“Akan
kuantar kau ke gubukku dan juga kudamu. Aku memiliki berbagai obat dan tentunya
peralatan untuk merawat lukamu.”
Tanpa
menanggapi bantuan Louie, si penunggang berjalan mendahului kudanya. Senyum
merekah di wajah Louie dan segera ia menuntun kuda itu menyusuri rerumputan
keluar ladang.
Setelah
berjalan beberapa meter di depan, si penunggang menoleh dan mendapati bocah
lelaki itu sedang memasang gerobak penuh jerami di belakang kudanya.
“Hei,
apa yang kau lakukan terhadap kudaku?”
“Aku
bekerja di sini dan kurasa akan lebih efektif membawa keduanya seperti ini.”
Louie
menyusul si penunggang yang masih tertutup jubah sejak tadi.
“Kau
prajurit yang kuat sekali. Luka seperti itu bisa membuat siapapun mengeluh
kesakitan, tetapi kurasa kau mampu mengatasinya dengan baik.”
Lelah
mendengar ocehannya, si penunggang membuka tudung jubahnya. Louie terbelalak
melihat bahwa penunggang itu adalah seorang wanita. Tidak, lebih tepatnya
seorang gadis. Tingginya sama dengannya, mungkin karena botnya yang tebal.
Wajahnya kusam dan rambutnya sangat berantakan seperti orang baru bangun tidur.
Mana mungkin ada prajurit seperti
ini. Batin Louie
lagi.
“Aku
tahu apa yang kau pikirkan. Memang tidak ada prajurit yang terlihat seperti ini
karena nyatanya adalah bukan. Kau-“
“Aku
Louie. Panggil saja Louie.”
“Baiklah.”
Keheningan
menyelimuti keduanya. Hanya suara langkah kaki kuda dan gerobak yang menderu
hebat di permukaan tanah kering musim semi saat itu. Louie memiliki terlalu
banyak pertanyaan yang tak siap dilontarkan kepada gadis itu. Siapa namanya? Mengapa dia berpenampilan
seperti itu? Dari mana asalnya? Ke mana ia akan pergi? Apakah ia memiliki kuda
itu sejak lahir atau membelinya? Berapa umurnya?
Mereka
tiba di sebuah jalan setapak tak berumput yang tampaknya terlalu sering dilalui
roda. Rumput hijau dan tanaman liar meliat hebat di seluruh penjuru tempat.
Pagar kayu tua kasar membatasi taman rerumputan yang dipenuhi jerami dengan jalan
setapak. Di gerbang pagar tak berpintu mereka masuk. Mengikat tali kuda ke
pagar, melepas ikatan gerobak dari kuda, mendorong gerobak menuju sisi lain
halaman, dan si gadis hanya memerhatikan sambil menggendong tangan kirinya.
Di
dalam, Louie segera membuka lemari kayu yang digantung di dinding yang berisi
banyak botolan dan tulisan-tulisan tinta pada selembar kain yang diikat dengan
jerami. Ia meraih sebotol obat dan gulungan kain serta seember air dari dapur
menuju ruang utama satu-satunya yang layak dimasuki tamu. Ia hendak meminta
izin agar gadis itu melepaskan jubahnya supaya tidak kerepotan ketika membalut
lukanya. Tidak tahu bagaimana harus memanggilnya, akhirnya yang keluar dari
mulutnya hanya,
“Uhm-“
“Aku
Fiolla. Panggil saja Fiolla.” Benar. Fiolla memang hebat dalam membaca pikiran
orang lain.
Louie
memulai praktek kedokterannya dengan menahan darah yang keluar, membersihkan
luka, membalut tangan si pasien dengan perban lalu menyodorkan segelas ramuan
hijau kental untuk diminum oleh pasien. Katanya, itu adalah antibiotik dan
pereda nyeri yang ia racik sendiri.
Seusai
Louie keluar dari dapur setelah membersihkan seluruh perlatannya, ia mendapati
Fiolla telah tertidur pulas di kursi yang sejak tadi sudah diduduki. Louie meraih
jubah si gadis dan menyelimutinya dari leher sampai ujung kaki.
**
Pikirannya
melayang pada gugusan bukit hijau yang semakin hilang ujungnya. Langit biru
cerah seolah mengusir pergi awan-awan putih tipis yang semakin memudar. Pintu
kayu ini terbagi menjadi dua bagian yaitu atas dan bawah. Yang bawah tertutup
dan dikunci, sedang yang atas dibiarkan terbuka lebar. Seharusnya berwarna
hijau terang, tetapi usia telah memakannya dan menyisakan serat-serat lapuk
yang kering. Meski tidak terdengar indah, tampilannya tetap menarik. Daya
tariknya bahkan menyita perhatian angkasa yang tak luput dari pandangannya. Semalaman aku bertunggang sampai di sini.
“Makan
siang?”
Fiolla
membalikkan badan mendengar celetukan Louie.
“Terima
kasih banyak. Namun, aku harus pergi sekarang.”
“Tentu
saja. Tapi tidak dengan perut kosong, kan?”
Fiolla
sibuk mengemasi barangnya begitu menghampiri kursi tempat ia meletakkan
jubahnya selepas bangun. Begitu sibuk seolah ia membawa banyak barang karena
kenyataannya hanya sebuah tas tabung yang ia coba tautkan sabuknya di pinggang.
Namun, tubuh kecilnya itu tidak sehebat kata-katanya dalam berbohong. Suara
gemuruh yang tidak disangka akan terdengar begitu keras dari perutnya
memadamkan wajah Fiolla.
Bocah ini tidak bisa diam. Fiolla menyantap makan siang berisi
buah, sayur, kacang, dan rempah itu tanpa antusiasme, tetapi cepat. Bibir Louie
terus berbicara baik dalam keadaan mulut penuh maupun kosong. Pantang berhenti
walau sedang menggigit atau melahap. Hebatnya, ia tidak pernah tersedak. Seolah
sebuah kebiasaan. Topik yang terlontar tidak jauh-jauh seputar ladang, jerami,
kucing liar, kuda-kuda di pusat kota yang sangat ingin ia miliki tapi tidak
sanggup membelinya, dan gubuk tua yang ternyata peninggalan kakeknya.
“Wow!
Makanmu cepat sekali”, tentu saja Louie dengan sesendok beri yang hampir
ditelan.
“Enak.”
“Tentu
saja. Mereka juga berkata begitu.”
“Mereka?”
“Anak-anak
panti asuhan. Aku memasak untuk mereka setiap Hari Minggu.”
“Ada
panti asuhan di sini?”
“Tentu
saja ada. Inikan pedesaan. Sudah pasti banyak tempat-tempat sejenis itu.”
**
“Sepertinya
kau kelelahan, Grace. Tapi kenapa ia tidak makan rumput ini, ya?”
Fiolla
melihat rumput di sekeliling pagar yang tumbuh liar.
“Tentu
saja ia tidak mau. Sebenarnya aku bisa memberinya jerami ini, tetapi sore nanti
akan ada peternak yang membelinya. Maafkan aku. Grace.” Louie menyebut kuda
yang baru ia ketahui namanya dengan wajah geli.
“Tidak
perlu repot-repot. Kami akan pergi sekarang dan mencari rumput untuknya.”
Namun,
kuda itu bergeming. Menolak berjalan dan meringkik.
“Kau
mau ikut denganku ke bukit belakang? Di sana aku biasa mengumpulkan jerami,
walau rumputnya tidak terlalu bagus.”
Apa bedanya. Semua rumput sama saja.
Fiolla mengangguk
dan mengikuti Louie mengambil gerobak di sisi lain halaman lalu meninggalkan
gubuk. Mereka berjalan melewati sisi samping hingga belakang rumah. Pohon-pohon
pinus terlihat kecil dari kejauhan. Matahari yang terik perlahan menghangat.
Meskipun bukitnya tidak jauh, tetapi tanjakannya cukup membuat Fiolla segera
berkeringat. Ia berhenti mendorong gerobak untuk melepas kancing kedua
lengannya lalu melipatnya setinggi siku. Kain baju berbahan satin itu mudah
bergoyang karena gaya gesek yang rendah. Kedua lengan baju itu dengan cepat
menuruni dan menutupi kulit lengan kurus Fiolla yang basah.
Terik
mulai berganti senja. Langit yang tadi bersih biru, kini yang berubah hanya
warnanya. Merah muda bergradasi oranye semakin merekah seiring ditariknya
gerobak menuruni bukit oleh dua remaja yang nyaris terlihat seperti pemulung
itu. Walau senja tak secantik kemarin, paling tidak Fiolla memiliki tempat
untuk beristirahat yang layak di sini. Bukan pohon di ladang orang. Namun,
mengingat pengalaman itu, Fiolla berpikir ia cukup beruntung bertemu dengan
bocah yang ternyata orang baik ini. Ya, Fiolla menganggapnya bocah meskipun
tahu bahwa mungkin mereka seumuran.
Rambut
hitam lembut yang kusut itu membelai wajah mungil yang tertiup angin sore.
Tangannya mengelus kepala Grace yang tampak menikmati hidangan makan malamnya
itu. Penampilannya terlihat lebih lusuh jika dibandingkan pagi pertama mereka
bertemu tadi. Berjongkok membelakangi gadis di sisi lain halamannya, sepasang
mata sipit itu tampak memerhatikan dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Entah
apa yang sedang dipikirkan oleh Louie muda petang itu. Di halaman gubuk kakek.
Ketika matahari akan terbenam. Dengan seorang gadis dan kudanya yang masih
misterius.
**
Louie
sedang memasak ketika Fiolla baru selesai membersihkan diri. Bocah itu tampak
tinggi di dapur sempit dan berperabot rendah. Tangannya dengan cekatan
mengambil, membuka, dan menuang semua bahan-bahan yang dijadikan satu dalam
panci panas di atas tungku tradisional yang tampak praktis. Louie menoleh dan
meilirik Fiolla yang sedang menonton acara memasak gratis secara langsung.
“Aku
tidak bisa memasak, tapi pandai memotong bawang.”
“Sepertinya
kau pandai memotong apa saja. Rumputpun terlihat rapi bila kau yang
memotongnya.”
Fiolla
meraih segenggam bawang dan pisau di tangan yang lain ke sisi meja seberang.
Siap memotong. Alasan meja yang rendah membuat Fiolla harus membungkuk. Sedangkan,
bawangnya tidak hanya satu. Pinggangnya pegal, matanya berair, rambutnya
menghalangi pandangan. Ia menengadah dan Louie segera mengambil sebotol kecil
cairan di lemari dekat ruang utama. Louie meneteskan cairan itu ke sepasang
mata Fiolla. Mereka berdua tertawa ringan menghadapi insiden dapur yang konyol
itu. Setelah berkedip-kedip, Fiolla mencuci tangan dan bawang yang sudah
selesai dikupas.
Panci
hampir penuh terisi bahan-bahan yang tidak Fiolla ketahui namanya. Ia menunggu
di sisi meja, belakang tempat Louie berdiri menghadap masakannya. Fiolla
menyadari bahwa posisi panci itu sedikit miring seiring bertambahnya isi,
tetapi ia hanya diam karena berpikir Louie lebih mengerti akan situasi itu.
Tepat sebelum memasukkan bawang, posisi panci semakin tidak seimbang. Terkejut,
Louie menyangga ujung panci dengan tangan menggenggam bawang. Sontak ia
mendengus keras, tetapi panci berhasil diselamatkan beserta bawangnya. Ia
berbicara cepat kepada Fiolla untuk mengambil botol obat dari lemari dengan
menjelaskan warna, rupa, dan ukurannya sambil membasuh kedua tangannya di
ember. Fiolla mengambil sebuah botol sesuai kriteria. Terdapat suatu tulisan,
mungkin nama obatnya, tetapi sulit diingat hanya dengan satu kali baca.
Kulitnya
melepuh. Fiolla cepat-cepat duduk di hadapannya usai mematikan tungku api. Uap
panci mengepul memenuhi dapur. Fiolla mengikuti instruksi Louie bagaimana
mengoleskan gel dari botol tersebut ke tangan si korban. Dua pasang mata
tertuju pada luka dan gel. Lebih tepatnya, mengamati tangan yang bukan
miliknya. Si perawat memerhatikan olesan-olesan gel ke tangan yang terluka
tersebut dengan teliti. Sedangkan, si pasien mengamati pergerakan tangan si
perawat. Mata sipit itu menggambarkan dengan jelas perasaan yang tidak
ditutup-tutupi. Bocah laki-laki itu jujur sedang mengalami rasa sakit di
tangannya. Namun, pandangan matanya kali ini tidak dapat dipastikan
kejujurannya. Sepasang mata sipit yang melirik sepasang mata di depannya hingga
melebur menjadi sebuah pandangan. Ia melakukannya lagi. Tatapan itu. Terhadap
gadis misterius itu.
**
Cerita ini ditulis asli oleh Deshinta Nilasari dan memakan waktu selama tiga malam sampai blog ini dipublikasi. Terinspirasi dari tokoh Lord Viscount Tewksbury yang merupakan tokoh pria dalam film Enola Holmes (2020) dan tokoh Juliet dalam film Romeo & Juliet (2013).
Seperti yang disebutkan di awal laman, instrumen lagu Mystery of Love oleh Sufjan Stevens menjadi pengiring selama proses penulisan yang juga dipilih sebagai judul cerita pendek ini. Oleh karena itu, pembaca disarankan untuk mendengarkan instrumen tersebut ketika membaca agar mendapat pengalaman seperti yang penulis rasakan. Atau lebih disarankan untuk mendengarkan versi audio asli yang dapat diakses di sini.
SOCIALS
Lagu sama ceritanya bagus banget aaaaa!!!!! Semangat nulis cerita-cerita selanjutnya! kutunggu~
ReplyDeleteBtw, aku berharap ini ada lanjutannya ehe:v greget soalnyaT_T
Heheheh, terima kasih! 🤗
Delete