Tiga Anak Dilecehkan, Percuma Lapor Polisi
Beberapa waktu lalu, warga twitter sempat diramaikan oleh tagar #PercumaLaporPolisi yang sempat menjadi trending di Indonesia. Pasalnya, ada sebuah kasus pelecehan seksual terhadap tiga anak di bawah sepuluh tahun oleh ayah kandungnya sendiri di Sulawesi Selatan. Hal ini pertama kali disadari oleh ibu korban ketika anaknya mengeluh kesakitan di alat kelaminnya. Setelah diperiksa, sang ibu terkejut melihat adanya bekas-bekas luka pada ketiga anaknya. Sang anak mengaku bahwa hal tersebut merupakan tindakan sang ayah yang mana telah cerai dengan sang ibu. Akhirnya, ibu tersebut melaporkan kasus ini ke Polres Luwu Timur untuk dilakukan penyelidikan atas diduga pelaku yaitu mantan suaminya sendiri. Namun, dalam selang waktu dua bulan saja, polisi telah menghentikan penyelidikan karena dianggap kekurangan bukti.
Pelecehan seksual terhadap anak ini marak terjadi di Indonesia. Sebanyak 90% pelakunya adalah orang yang mereka kenal. Namun, korban tidak selalu mendapat perlakuan yang adil di mata hukum Indonesia. Meski telah melapor, tidak sedikit aparat kepolisian yang tidak bisa melindungi para korban pelecehan. Bahkan, beberapa korban mengaku bahwa mereka mengalami kebocoran privasi. Tidak hanya itu, tak sedikit korban pelecehan justru menjadi terdakwa atas kekerasan yang dialaminya. Di sisi lain, anak-anak korban pelecehan merupakan kaum yang lemah karena mereka tidak tahu bagaimana harus menghadapi situasi ini. Mereka justru cenderung diam karena takut. Ketidakadilan yang tumbuh di negeri ini benar-benar memangkas habis para korban, sehingga menyebabkan mereka takut melapor ketika mendapat perlakuan kekerasan. Akibatnya, kasus kekerasan ini akan terus berulang tanpa ada hukuman sepadan bagi para pelaku.
Ketidakprofesionalan lembaga keadilan dalam kasus ini bahkan dimulai dari kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Di mana Kepala Bidang Pusat Pelayanannya menyampaikan kebohongan atas pertemuannya dengan ibu korban. Selain itu, para korban pun diberi tes psikologis yang bahkan psikolognya tidak memenuhi kualifikasi sebagai psikolog anak dan hasilnya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Hal inilah yang sayangnya akan dijadikan bahan penyelidikan oleh polisi dan tentu saja ketidakprofesionalan lembaga ini sangat merugikan korban.
Selama proses pemeriksaan, ibu dan korban tidak mendapat pendampingan apapun yang mana tidak sesuai dengan UU Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa seharusnya anak-anak didampingi oleh orangtua serta pendamping hukum, pekerja sosial atau pendamping lain. Polisi menyampaikan bahwa dari semua hasil pemeriksaan tidak ditemukan adanya tanda-tanda kekerasan pada anak. Bahkan, mereka menduga ibu korban sebagai pelaku pelecehan terhadap ketiga anaknya karena dianggap memiliki gangguan kejiwaan. Ketidakprofesionalan inilah yang lagi-lagi mendorong anggapan bahwa penyidik kekurangan bukti atas kasus pelecehan tersebut. Pada akhirnya, polisi menyatakan bahwa kasus ini resmi ditutup pada 10 Desember 2019 tanpa ada detail lebih lanjut.
Ibu dan korban akhirnya pergi ke Makassar untuk mendapat keadilan yang lebih layak. Di LBH Makassar, sang ibu mendapat penasihat hukum dan pendampingan psikologis untuk ketiga anaknya. Hasil laporan pemeriksaan menunjukkan bahwa korban memiliki gejala kecemasan dan terbukti adanya tanda-tanda kekerasan seksual. Rezky Pratiwi dari LBH Makassar mengatakan bahwa proses penyelidikan Polres Luwu Timur sudah ‘cacat prosedur’ sejak awal.
Meskipun sudah terbukti adanya kekerasan pada korban, Polda Sulsel tetap bergeming. Permintaan gelar perkara itu tidak dihiraukan, bahkan mereka merekomendasikan Polres Luwu Timur untuk tidak membuka kasus itu lagi. LBH Makassar sampai membuat surat aduan kepada beberapa lembaga, salah satunya yaitu Komnas Perempuan yang merekomendasikan dibukanya kembali penyelidikan kasus tersebut.
Menurut Pratiwi, Polres dan Pusat Pelayanan Luwu Timur telah berpihak kepada pelaku, sehingga menolak segala bukti yang diberikan oleh ibu korban, “Kalau sudah ada testimoni anak, seharusnya dimulai dari situ. Digali dulu bukti-bukti pendukungnya.” Jika memang korban tidak mengalami pelecehan, mengapa mereka mengeluhkan sakit di bagian dubur hingga didiagnosa mengalami kerusakan dan peradangan vagina akibat pemerkosaan, serta konstipasi atau susah buang air besar oleh pihak rumah sakit. Jika memang polisi dan lembaga pelayanan menyadari adanya kelainan, tetapi mengapa selalu menyangkal setiap bukti dari korban. Keberpihakan aparat kepada pelaku ini sangat terlihat jelas. Lemahnya hukum di Indonesia akan perlindungan dari kekerasan seksual sangat mengkhawatirkan. Saya berharap pemerintah segera mengesahkan RUU PKS, supaya tidak ada lagi korban yang merasa dirugikan. Supaya tidak ada lagi pelaku yang berlindung di balik ‘posisi’ dan materi. Supaya Indonesia benar-benar mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Supaya hukum bukan hanya sebagai ajang formalitas, tetapi juga pelindung hak asasi manusia.
Comments
Post a Comment