Laut Bercerita

Hai! Selamat datang di sesi Ngomongin Buku ala-ala >////<. Ini pertama kalinya aku nulis di blog lagi setelah libur setahun. Tulisan terakhirku diunggah pada Juli 2021 lalu. Isinya cerita pendek berjudul Mystery of Love yang bisa kalian baca di sini. Kali ini, aku membuat topik baru yaitu Ngomongin Buku. Seperti yang aku tahu, membaca udah jadi hobiku sejak tahun 2020. Berawal dari buku self-improvement pertama yang kubaca pada tahun 2018, sejak itu aku masih uring-uringan untuk tetap konsisten membaca. Seiring berjalannya waktu, akhirnya minat bacaku mulai bertambah sedikit demi sedikit dan untuk pertama kalinya, 11 buku terbanyak pertama telah kubaca dalam setahun pada 2020 lalu. 11 buku mungkin terdengar sedikit, tapi buat 'pembaca pemula' seperti aku tentu jumlah itu merupakan awal yang bagus sih harusnya? Bisa dibilang ada 1 buku yang kubaca tiap bulannya. Tahun berikutnya, aku pun membuat goals untuk baca lebih banyak buku atau paling tidak sama jumlahnya seperti tahun sebelumnya. Di tahun itu juga aku mencoba beberapa genre baru dari beberapa penulis yang berbeda dan hasilnya aku lebih banyak baca buku terjemahan Asian literature seperti karya Keigo Higashino, Toshikazu Kawaguchi, Sohn Won-Pyung, Cho Nam Joo, dan Baek Se Hee. Selain itu, sejak membaca seri Little Women pada 2020, aku juga tertarik pada literatur klasik. Alhasil, aku membaca Jane Eyre yang tebalnya melebihi kamus maupun kitab. Juga, untuk pertama kalinya aku membaca sebuah memoar berjudul Educated karya Tara Westover. Total semua buku yang kubaca tahun lalu adalah 12 buku, hanya satu buku lebih banyak (maklum ges udah kelas 12 ya kan). Meskipun yaaa aku baru mulai 'istiqamah' membaca pada pertengahan tahun, artinya ada kurang lebih 2 buku yang kubaca tiap bulannya selama 6 bulan terakhir tahun 2021.

Oke, aku udah ceritain awal mula aku hobi baca, sekarang kita masuk ke inti acara hari ini yaitu Ngomongin Buku. Buku pertama yang akan membuka topik baru ini adalah novel sejarah berjudul Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Nah, di paragraf sebelumnya aku udah jelasin kalau tahun 2021 aku mulai baca di pertengahan tahun, kan? Tahun ini pun sama. Jadi, biar makin afdol, aku buka lagi dengan sedikit cerita kenapa tahun 2022 ini baru mulai baca di bulan Juni, kenapa tiap awal tahun ga pernah baca, dan kenapa pilih Laut Bercerita. Yuk.

(Disklaimer: Pertanyaan di atas bisa jadi tidak terjawab secara tersurat karena aku nulisnya nyantai dan ngalir tanpa bikin kerangka dulu. Enjoy!^_^). Sebelumnya aku sempat baca The Midnight Library di akhir Desember 2021, tapi mandek di bagian awal karena detik-detik memasuki semester 6 di SMA bikin moodku sering ayunan. Dampaknya jadi susaaah banget buat ngumpulin niat baca lagi. Ya, bisa dibilang mandek untuk fokus menghadapi serangkaian ujian sekolah, sih (alesan). Tapi namanya hidup, waktu terus berjalan dan 'badai' pun berlalu. Serangkaian ujian dan pendaftaran perguruan tinggi sudah kujalani dengan selusin goncangan mental dan fisik yang  menuntut kafein jadi pengiring. Hari ini Juni 2022, merupakan masa-masa pengangguran kelas 12. Minat baca bukuku tidak muncul begitu saja, tetapi kuawali dengan membaca beberapa alternative universe yang ternyata bikin nagih. Dari beberapa au yang kutemukan di burung biru, ada beberapa karya yang dibukukan. Rasa penasaran pun menuntunku untuk mencari buku tersebut yang ternyata diterbitkan di Gramedia. Alhasil, berangkatlah aku ke toko buku itu dengan misi mendapat novel au itu. Namun, pencarianku berbuah nihil. Menyerah pun kuganti dengan beberapa buku yang kiranya menarik minatku. Di rak best seller inilah aku melihat Laut Bercerita. Sempat bimbang apakah aku akan membeli buku Keigo Higashino lagi saja atau Leila S. Chudori yang mana masih baru buatku. Sempat juga kuingat salah satu mutual yang merekomendasikan buku ini melalui instastorynya. Akhirnya kuputuskan untuk membawa pulang Laut Bercerita. Terkuras sudah sedikit isi dompetku.

Meskipun buku itu sudah ada di tanganku, nyatanya rasa malas masih setia menyelimuti. Alhasil, buku ini sempat kutelantarkan selama beberapa hari sebelum akhirnya kupaksa diri ini untuk mulai membaca tanpa menunda-nunda lagi.

Sejujurnya, aku bukanlah seorang penikmat cerita sejarah. Ya, buku ini tentang sejarah. Alasannya jelas karena pelajaran sejarah di sekolah tidak menarik. Selain proses pembelajaran yang membosankan, sukar menghibur meski informatif, dan kebanyakan presentasi yang tidak mendalam, cuma bikin ngantuk serta sebel karena banyak banget kronologi, tanggal, dan peristiwa yang harus dihafalin. Alhasil, pelajaran sejarah Indonesia kuanggap 'bukan buat aku'. Demikianlah mindset yang kutanam selama sekolah yang menjadi pembuka gerbang dibalik nilai yang tidak pernah memuaskan. 

Selama membaca Laut Bercerita aku tidak menaruh eskpektasi apapun tentang isi cerita buku ini. Kalau aku tau sejak awal akan tema buku ini, mungkin aku akan berpikir dua kali untuk akhirnya memutuskan membeli. Tapi, karena dia simply  recommended dan best seller, so I think there is no more reason to not read this book. 

Singkat cerita, aku melahap buku itu hanya dalam seminggu. Laut Bercerita. Dalam satu minggu. Terbukti bahwa dalam proses membaca itulah, minat bacaku juga ikut tumbuh. Walau surprisingly prolognya aja sudah cukup bikin ternganga. Dari sini aku bisa membuka mataku bahwa kisah dalam novel ini menarik. Sangat menarik. Bahkan, tak henti-hentinya aku mengagumi pilihan kosakata dan diksi  penulis yang puitis nan penuh makna itu. Buku ini istimewa. 

Tidak hanya alur, tetapi latar dan pertanyaan yang setia membuntuti pembaca tentang apa yang akan terjadi selanjutnya juga membuatku ingin lekas membuka bab berikutnya. Kalimat selanjutnya mungkin terdengar klise, tapi dengan penyajian cerita sejarah melalui novel ini membuat 'belajarku' jadi lebih mudah dipahami. Kenapa kusebut 'belajar'? Karena buku ini tidak hanya sekedar karya yang patut dinikmati saja, tetapi juga memberi wawasan dan pandangan baru akan peristiwa tahun '98. Orde baru, demonstrasi, penghilangan paksa, penjarahan, pembungkaman pers, hingga roman dan kekeluargaan dibalut secara apik dalam novel ini. Pembaca juga diajak merasakan kehidupan manis-pahitnya perjuangan para aktivis dan mahasiswa kala itu.

Aku tahu, tulisanku ini sangat seadanya dan tidak terlalu terorganisasi. Sekarang rasanya lebih menyenangkan untuk menikmati sebuah karya dengan pujian dan apresiasi saja daripada harus memutar otak untuk menumpahkan kekritisanku dalam menganalisis sebuah buku. Seperti kata Biru Laut, sang tokoh utama, kata-kata memiliki kekuatan untuk membangkitkan. Aku ingin menemukan huruf-huruf untuk kurangkai menjadi kata, kata menjadi kalimat, dan kalimat menjadi paragraf, hingga membentuk satu cerita utuh. Inilah yang kulakukan sekarang. Tulisan ini bukanlah ulasan sebagaimana yang pendidikan Bahasa Indonesia jelaskan 'secara harfiah', tetapi tulisan ini adalah apresiasiku terhadap karya yang sangat kuhargai.

What a fantastic preambule to start my reading journey this year! Laut Bercerita akan selalu istimewa di benak pembaca karena demikianlah yang kurasakan. Aku yang awalnya berprasangka kalau buku ini ga bakal bikin nangis, karena demikianlah kata orang-orang, ternyata Leila Chudori berhasil mematahkan prasangka itu. Hatiku tidak bisa berbohong merasakan pahitnya pengkhianatan, duka cita, dan ketidakpastian tak berujung di bagian akhir cerita. 

Satu lagi yang ingin aku omongin tentang buku ini. Memang tidak berakhir bahagia, memuaskan, atau apalah itu karena inti dari buku ini bukan soal kepuasan pembaca, tetapi tentang bagaimana manusia bangkit dari keterpurukan. Bagaimana manusia dituntut tetap berdiri tegap di tengah guncangan badai. Betapa banyak dari kita yang merasa seolah sendiri di tengah kehadiran banyak orang di sekitar. Kesedihan dan kekelaman boleh menyelimuti seseorang, tetapi dalam lorong yang gelap sekalipun pasti ada secercah cahaya di ujung sana. Dan cahaya itulah yang harus kita kejar.

Ketidakpastian akan tergapaitidaknya cahaya itulah yang menurutku menjadi akhir kisah dari buku ini.

Karena inti dari kisah ini adalah kebangkitan untuk keluar dari jeratan kekelaman yang pekat. Dan bagaimana manusia harus tetap bisa menemukan suka di balik duka. Itulah alasan mengapa manusia tidak boleh terus-menerus terjebak di masa lalu. Yaaa, intinya gitu, pemirsa.

Ah.. Gak terasa udah pegel banget nulis. Biar ga makin ngelantur, mending aku tutup aja. Terima kasih sudah meluangkan waktumu buat baca. Semoga ada sedikit manfaat yang bisa kalian petik dari tulisanku.  Dan kalau ada kritik atau saran boleh banget tulis di kolom komentar karena akan sangat aku apresiasi buat perbaikan ke depannya! ^^ 

Sampai jumpa di tulisanku yang lain! <3

Find me on ig: deshintanila and youtube: deshinta nila.

Comments

Popular Posts